Turkiye Burslari Scholarship : Ikinci
Setelah selesai mengisi semua berkas, aku harus menunggu pengumuman selanjutnya dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan. Ya beginilah gregetnya YTB, kamu tidak akan pernah tahu kapan tanggal pastinya pengumuman itu datang. Belajarlah untuk bersabar dan menanti hingga kau akan terbiasa.
Selama masa penantian ini banyak hal yang kulalui. Akhir April 2017, merupakan hal yang aku nanti-nantikan. Berharap akan menjadi kado terindah untukku. Bukan, bukan YTB tapi pengumuman SNMPTN. Dan ini kesalahanku, aku optimis akan lolos dan bisa melanjutkan studi di kota Solo :3. Tapi takdir berkata lain, aku dinyatakan tidak lolos. DEG! Ini penolakanku kedua setelah beasiswa Malaysia, tapi entah kenapa yang ini jauh lebih menyakitkan. Dulu aku memang berkeinginan menjadi Psikolog, dan kuliah Psikologi di UNS. Aku kekeuh sekali tidak mengganti pilihanku, walau orang tua awalnya tidak setuju dengan pilihanku. Tapi karena aku kekeuh, akhirnya mengikhlaskan saja. Dan inilah hasilnya... ingat ya guys, ridho Allah terletak pada ridho orang tua juga :"
Sesaat setelah itu aku masih optimis. Tenang, masih ada harapan. Masih ada YTB. Your another dreams, Lin. Tapi itu tidak berlangsung lama. Keesokan harinya aku kembali berdebat dengan orang tua tentang pilihanku dalam SBMPTN. Orang tua menyarankan untuk tidak lagi memilih UNS atau pun memilih Ilmu Komunikasi. Psikologi di Malang saja, begitulah kata orang tua. Di tengah percakapan, aku pun bertanya "Misal, kalau aku keterima beasiswa Turki, lolos ke tahap wawancara, papa milih aku di Turki atau Malang?" "Malang." BLARR!! Rasanya seperti ada petir yang menyambar jantungku, menyesakkan dada, dan membuat leherku tercekat. Jujur aku sedih. Aku nangis. Aku putus asa. Percuma saja aku bermimpi jika tidak direstui. Mimpi yang telah dibangun sejak lama harus hancur begitu saja. Terlebih saat orang tua menjelaskan bayangan jurnalistik yang diharapkan dan tidak sejalan dengan keinginanku.
Setelah hari itu, orang tua memutuskan untuk mengungsikanku ke Ngawi agar fokus belajar SBMPTN karena kebetulan omku juga mendirikan bimbel di rumah eyang. Tak ada jalan lain. Aku hanya bisa pasrah dan menjalaninya. Juga, tak henti-hentinya aku istighfar dan berdoa, karena aku percaya kekuatan doa itu nyata :". Pintaku sederhana, ya Allah berikan aku kekuatan, kesabaran, keikhlasan, dan berikan yang terbaik untukku dan untuk masa depanku. Selama beberapa hari Ngawi, aku kembali menjadi diriku yang sedia kala. Mengikhlaskan apa yang telah terjadi dan melupakan setiap luka. Hingga tiba suatu hari...
Selama masa penantian ini banyak hal yang kulalui. Akhir April 2017, merupakan hal yang aku nanti-nantikan. Berharap akan menjadi kado terindah untukku. Bukan, bukan YTB tapi pengumuman SNMPTN. Dan ini kesalahanku, aku optimis akan lolos dan bisa melanjutkan studi di kota Solo :3. Tapi takdir berkata lain, aku dinyatakan tidak lolos. DEG! Ini penolakanku kedua setelah beasiswa Malaysia, tapi entah kenapa yang ini jauh lebih menyakitkan. Dulu aku memang berkeinginan menjadi Psikolog, dan kuliah Psikologi di UNS. Aku kekeuh sekali tidak mengganti pilihanku, walau orang tua awalnya tidak setuju dengan pilihanku. Tapi karena aku kekeuh, akhirnya mengikhlaskan saja. Dan inilah hasilnya... ingat ya guys, ridho Allah terletak pada ridho orang tua juga :"
Sesaat setelah itu aku masih optimis. Tenang, masih ada harapan. Masih ada YTB. Your another dreams, Lin. Tapi itu tidak berlangsung lama. Keesokan harinya aku kembali berdebat dengan orang tua tentang pilihanku dalam SBMPTN. Orang tua menyarankan untuk tidak lagi memilih UNS atau pun memilih Ilmu Komunikasi. Psikologi di Malang saja, begitulah kata orang tua. Di tengah percakapan, aku pun bertanya "Misal, kalau aku keterima beasiswa Turki, lolos ke tahap wawancara, papa milih aku di Turki atau Malang?" "Malang." BLARR!! Rasanya seperti ada petir yang menyambar jantungku, menyesakkan dada, dan membuat leherku tercekat. Jujur aku sedih. Aku nangis. Aku putus asa. Percuma saja aku bermimpi jika tidak direstui. Mimpi yang telah dibangun sejak lama harus hancur begitu saja. Terlebih saat orang tua menjelaskan bayangan jurnalistik yang diharapkan dan tidak sejalan dengan keinginanku.
Setelah hari itu, orang tua memutuskan untuk mengungsikanku ke Ngawi agar fokus belajar SBMPTN karena kebetulan omku juga mendirikan bimbel di rumah eyang. Tak ada jalan lain. Aku hanya bisa pasrah dan menjalaninya. Juga, tak henti-hentinya aku istighfar dan berdoa, karena aku percaya kekuatan doa itu nyata :". Pintaku sederhana, ya Allah berikan aku kekuatan, kesabaran, keikhlasan, dan berikan yang terbaik untukku dan untuk masa depanku. Selama beberapa hari Ngawi, aku kembali menjadi diriku yang sedia kala. Mengikhlaskan apa yang telah terjadi dan melupakan setiap luka. Hingga tiba suatu hari...