Aku mengagumimu. Mengagumi dalam diam. Kau selalu hadir dengan senyum khasmu untuk menghiburku. Kita memang hanya sebatas teman. Entah sejak kapan rasa itu perlahan mulai berganti. Vicko, itulah namamu. Pertemanan kita terjadi secara tidak sengaja. Waktu itu aku sangat sedih ketika kehilangan sahabat terbaikku. Taman belakang sekolah sudah menjadi wilayahku. Tempat yang cocok untuk menghibur diriku. Tak ada yang menggangguku. Aku bebas menangis, tersenyum melihat burung-burung kecil, dan bersenandung di sana. Hingga suatu hari, tak sengaja kau menemuiku sedang menangis di sana. Nampaknya kau ingin menyiram bunga-bunga yang ada di taman. Aku langsung mengusap air mataku. Aku tak ingin ada yang melihatnya. Kau pun salah tingkah dan meminta maaf kepadaku karena tak sengaja datang. Aku hanya menjawab dengan senyuman parau.
Kau malah mendekatiku. Aku masih mengingat kalimat pertama yang terucap dari bibir mungilmu. “Are you okay?”. Tak sopan jika aku terus-terusan menjawab dengan senyuman. Kuhela nafas panjang-panjang, memberanikan diri berbicara denganmu.
“Ya, I’m okay,” itulah jawabku.
“Okay aku tidak akan memaksamu walau aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan.” Aku semakin kikuk.
“No no, aku tidak indigo. Aku hanya menebaknya. Terlihat dari wajahmu dan air matamu yang membekas di pelupuk matamu,” lanjutmu sepertinya tahu apa yang kupikirkan.